Reggae (Ras Muhammad) dan Perjuangan Kebudayaan

Dengan
peralatan seadanya, puluhan grup band reggae, diantaranya Primitive,
Babylonian, Local Ambience, Primitive, dan Ras Muhammad, tetap
bersemangat memperdengarkan lagu-lagu yang terkenal “membebaskan” ini,
untuk merayakan “64 tahun” kemerdekaan Indonesia. Penonton yang sudah
terbawa lirik dan melodik lagu-lagu reggae, semakin
berjingkrak-jingkrak, ketika sebuah band melantunkan lagu
“gendjer-gendjer”, lagu yang identik dengan Partai Komunis Indonesia
(PKI) yang terlarang itu. Bukan Cuma itu, lagu “Ke Selatan” ciptaan
Yayak Kencrit pun begitu enak dilantungkan oleh band reggae ini,
mengingatkan aku dengan Band “Modena City Rambler” ketika melantungkan
Bella Ciao. Ratusan kaum muda dan penikmat reggae sengaja datang untuk
menikmati acara ini. Salah satu band favorit yang ditunggu-tunggu
mereka-mereka ini adalah Ras Muhammad, grup musik reggae yang baru saja
menggebrak penggemar reggae Indonesia dengan “reggae hari ini”,
“siempre”, “leaving Babylon”, dan lain-lain.
Gebrakan Musik Reggae
Ras Mumammad lahir bersamaan dengan periode kebangkitan musik reggae Indonesia.
Periode “kebangkitan” reggae terjelaskan oleh kehadiran grup musik
reggae yang bukan saja berada di pinggiran bilantika musik nasional,
tetapi mereka kini membajiri khasana bermusik di Indonesia,
termasuk kesanggupan menyedot perhatian penikmat musik. Kita mengenal
Mas Tony Q Rastafara, Steven and Coconut Trees, Souljah, Pasukan Lima
Jari, UpRising, Gangstarasta, Joni Agung and Double T sebagai “reggae
musicians” yang turut meramaikan jagad musik reggae tanah air. Musik
reggae setidaknya mendapat pengakuan public, bukan sekedar musik untuk
dinikmati, tetapi juga sebagai aliran musik yang banyak memberikan
inspirasi. Salah satu ukuran terbaik dari Industri reggae Indonesia adalah semaraknya Band-Band reggae merilis album indie dengan memasukkan warna-warna Indonesia dalam warna bermusiknya. Reggae Indonesia telah berhasil membentuk jati dirinya, sebuah tahapan yang menunjukkan kematangan.
Ras
Muhammad bukan “new entry” dalam musik reggae ataupun gerakan
rastafari. Selama 12 tahun bermukim di AS, telah memberikan begitu
banyak kesempatan padanya untuk bersentuhan lansung dengan musik reggae,
dan tekun mempelajari filosofi “rastafari”. Pengaruh dari “bermukim” di
AS ini adalah warna musik Tribal Riddims dari Dancehall Reggae dalam
warna musiknya. Akan tetapi, Ras Muhammad tidak begitu saja menerapkan gaya reggae ala AS dalam warna reggae yang disebutnya “reggae Indonesia”. Seperti Mao yang menerapkan Marxisme dengan menggabungkan kepribadian tiongkok, maka Ras Muhammad ingin menerapkan reggae Indonesia, yang menggabungkan hal-hal yang berbau lokal Indonesia.
Ras
Muhammad adalah pengagum berat pemikir revolusioner, seperti Karl Marx,
Che Guevara, dan Soekarno. Hasrat “pergerakan” yang dimiliki Ras
Mumamad di luapkan lewat lagunya yang berjudul “siempre”, sebuah lagu
yang mengingatkan kita pada sosok pejuang revolusioer Kuba, Che Guevara.
Syairnya yang mudah dicerna dan mengandung emosi “idealisme
revolusioner” menggambarkan Ras Muhammad adalah seorang musisi yang
“cerdas”. Lagu “siempre” sedikit menyelamatkan muka musik Indonesia dari tuduhan “rendah mutu” dan seolah-olah kebanjiran tema cinta, cemburu ataupun selingkuh.
Reggae dan Perjuangan Kebudayaan
Masyarakat Indonesia
sedang mengalami krisis kebudayaan. Krisis kebudayaan yang dimaksud
adalah hilangnya seluruh entitas kebudayaan nasional, solidaritas
tradisional, dan segala bentuk nilai-nilai kolektif dan egalitarian.
Krisis kebudayaan ini sering dipersamakan dengan imperialisme
kebudayaan, sebuah proses penjajahan yang dilakukan kekuatan modal
multinasional terhadap negeri-negeri dunia ketiga. Penjajahan tidak
melulu hanya pada lapangan ekonomi dan politik, tetapi juga berlansung
dengan terbuka dalam lapangan kebudayaan. Dalam pertentangan ini,
pekerja seni sangat diharapkan melakukan kreasi yang berwatak
anti-indiviualisme, solidaritas, egalitarian, demokratik, dan
kerakyatan.
Seni
tak bisa dipandang netral, tidak memihak, dan terpisah dengan realitas
sekitar kita. Dalam masyarakat berkelas, seni dominan (mainstream)
dikuasai oleh klas berkuasa, dan dijadikan sebagai senjata untuk
menundukkan klas terhisap. Reggae sebagai musik pembebebasan, yang
memiliki kontribusi banyak dalam perjuangan kemanusian, ataupun
pembebasan nasional bangsa Jamaika. Reggae memang berbeda dengan
rastafari, tapi keduanya dilahirkan oleh akar kebudayaan yang sama;
Jamaika. Sikap anti penindasan reggae jelas dari peristilahan mereka
tentang penguasa penindas, yang disebut sebagai Babylon.
Ras
Muhammad, Tony Q Rastafara, dan reggae-reggae lainnya yang sering
mengusung protes politik dan kritik sosial, disadari atau tidak, telah
masuk dalam pertempuran kebudayaan ini. Meskipun mereka tidak masuk
secara lansung dalam arena politik dan menganjurkan perjuangan politik
untuk perebutan kekuasaan, seperti yang dianjurkan oleh partai-partai
kiri, akan tetapi mereka sedang berjuang menggusur budaya pasar dengan
mengajarkan cinta, persaudaraan, dan egalitarianism; nilai-nilai baru
yang sangat dibenci oleh penganjur globalisasi dan neoliberalisme.
Terlepas
dari reggae yang anti politik, sebuah grup band yang mengusung reggae
di Lampung, Red Flag, sedang mengobarkan perjuangan politik melawan
system kapitalisme. Dengan slogan; “one soul, one struggle”, grup band
yang digawangi oleh Dompak, aktifis JAKER
(Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat), begitu konsisten mengangkat tema
pembebasan dalam lagu-lagunya, termasuk “internasionale”, lagu kebanggan
klas pekerja sedunia. Red Flag mempersembahkan kaset-kasetnya untuk
pekerja dan kalangan terhisap, dan tak jarang mereka “manggung” di
tengah-tengah massa tersebut.
Ras
Muhammad sendiri jelas bukan band “menyembah” profit seperti band-band
anak muda pada umumnya. Ras Muhammad bahkan rela berkeringat-keringat
dalam berbagai panggung gratis yang digelar oleh komunitas reggae
ataupun kelompok pejuang demokrasi, seperti perayaan kemerdekaan,
kebangkitan nasional, peringatan 14 tahun pembredelan Tempo, dan banyak
lagi. Ini jelas bertentangan dengan logika neoliberal yang mengejar
profit; mengejar penjualan CD/kaset, mengejar popularitas, dan seluruh
aktifitas yang serba “komersil”.
Penulis adalah Anggota Sanggar Satu Bumi, Redaksi BERDIKARI Online, Pengurus Eksnas LMND
0 komentar:
Posting Komentar